all about my task




Friday, December 28, 2012

Review 24 (Penutup)


KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA:
TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI
DAN KEMISKINAN PROVINSI
Oleh :
Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat
JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43 – 69


VI. PENUTUP
Sejalan dengan kerangka pembangunan nasional, koperasi diharapkan mampu menjadi instrumen meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kaitan antara jumlah anggota koperasi dengan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia masih rendah. Dengan kata lain jumlah koperasi dan anggota koperasi yang banyak belum memiliki relasi yang kuat dalam hal penanggulangan kemiskinan. Kualitas anggota dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masih belum terungkap secara jelas. Hal itu terlihat, misalnya penyuluhan perkoperasian yang sebenarnya faktor penting menggalang keanggotaan koperasi, tidak berjalan dan tidak ada dalam struktur pemerintahan. Keberadaan Dekopin belum mampu menjadi wadah pembawa aspirasi anggota dan lembaga koperasi. Barangkali, jumlah koperasi dan anggota koperasi yang terus meningkat lebih pada pencatatan dalam rangka memenuhi elemen utama pembentukan koperasi. Oleh karena itu, perlu meninjau kembali apakah keberadaan koperasi dan anggota koperasi benar-benar mencerminkan upaya kerjasama untuk memenuhi kepentingan dan mengatasi masalah bersama dalam bisnis dan ekonomi. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pembedaan koperasi yang jelas apakah sebagai instrumen pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan atau badan usaha berbadan hukum yang sepadan dengan perseroan terbatas. Disamping itu, tampaknya, keterlibatan semua pemangku kepentingan, khususnya keberadaan Dekopin, perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan UU perkoperasian.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1996. Operasionalisasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian. Prosiding Lokakarya, TNPP.
_______. 2008. Memahami Kebijakan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan
Perluasan Kesempatan Kerja. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Republik Indonesia. Nopember.
_______. 2009. Kajian Dampak Program Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera
(Perkassa). Deputi Bidang Pengkajian Bidang Sumberdaya UMKM,
Kementerian KUKM. Jakarta.
_______. 2010. Kajian Pajak Terhadap Koperasi. Bahan Pengantar Diskusi, Deputi
Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM, Kementerian KUKM. Jakarta, 20
September.
_______. 2011. Realisasi Penyaluran Kredit Usaha Rakyat 2010. Tinjauan Ekonomi
Keuangan, Januari.
_______. 2011. Anggaran Penanggulangan Kemiskinan Indonesia, 2002-2010.
Website Kemenko Kesra, Maret 2011.
Anderson, David R., Dennis J. Sweeney, Thomas A.Williams. 2004. Essentials of
Modern Business Statistics with Microsoft Excel. 2 Edition. Thomson.
Ellwood, David T, Prof. 2010. 4 Syarat Hapus Kemiskinan. Presidential Lecture.
Harian Kompas, 23 September 2010.
Keller, Gerald. 2005. Statistics for Management and Economics, 7 Edition.
International Student Edition (ISE).
Rahardjo, Prof M, Dawam. 2010. Ekonomi Politik Perkoperasian Indonesia.
Prosiding Seminar Ekonomi Politik Perkoeprasian Indonesia. Ibnoe Soedjono
Center dan GKBI. Jakarta, 8 dan 12 Juli.
Retnadi, Djoko. 2008. People Based Small-Business Loan KUR: Prospects And
Challenges. Economic Review number 212, June.
Situmorang, Johnny W. 2009. Performa Regional Menarik PMDN, Tahun 2006-
2008. Analisis Dengan Metode RIPI. CBES-Communication Paper, Jakarta.
__________________. 2009. Performa Regional Menarik PMA, Tahun 2006-2008.
Analisis Dengan Metode RIPI. CBES-Communication Paper, Jakarta.


Nama   : Tanti Tri Setianingsih
NPM   : 27211023
Kelas   : 2EB09


Review 23 (Probabilitas Koperasi dan Penanggulangan Kemiskinan)


KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA:
TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI
DAN KEMISKINAN PROVINSI
Oleh :
Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat
JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43 – 69


V. PROBABILITAS KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN: STUDI KASUS TAHUN 2009

Gambaran tingkat anggota koperasi setiap provinsi (TAKP) dan tingkat kemiskinan provinsi pada tahun 2009 tertera pada Gambar 3. Tingkat anggota koperasi provinsi (TAKP) adalah rasio jumlah anggota koperasi dengan jumlah penduduk. Semakin tinggi TAKP semakin baik, sebaliknya. Semakin rendah TAPK semakin baik, dan sebaliknya. Provinsi yang TAKP-nya tinggi semestinya akan menunjukkan tingkat kemiskinan provinsi yang rendah pula. Sedangkan provinsi yang TAPK-nya rendah akan menghasilkan tingkat kemiskinan yang tinggi. Terlihat pada Gambar 4, TAKP rata-rata Indonesia adalah 0.1145 atau jumlah anggota koperasi adalah 11.45% dari jumlah penduduk provinsi. Provinsi yang performa keanggotaan koperasinya baik, dengan TAKP di atas rata-rata, adalah sebanyak 12 provinsi. Secara berurutan  dari tertinggi Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sumatera Barat karena TAKP-nya di atas rata-rata nasional, sebesar 0.1145. Selebihnya, propinsi di bawah nilai rata-rata, atau cenderung rendah. Kalau tertinggi adalah Kalimantan Timur dan terrendah adalah Papua. Ternyata juga, beberapa provinsi di P. Jawa kalah posisi dengan provinsi di luar P. Jawa. Padahal aksesibilitas P. Jawa jauh lebih baik daripada luar Jawa.
Dari TAPK tersebut, provinsi-provinsi Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sumatera Barat adalah daerah yang semestinya tingkat kemiskinannya rendah. Sedangkan propinsi lainnya dengan TAKP yang rendah akan menghasilkan tingkat kemiskinan yang tinggi. Yang menarik dari Grafik 2 a dalah posisi bebera pa provinsi di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dimana performa TAKPnya yang rendah. Sementara Jawa Timur, meskipun TAKP-nya tinggi, masih di bawah beberapa provinsi di luar P. Jawa. Propinsi-propinsi tersebut selama ini dinyatakan sebagai propinsi yang termaju koperasinya akibat dukungan infrastruktur dan akses yang jauh lebih baik daripada propinsi di luar P. Jawa. Faktanya, dengan jumlah anggota koperasi yang terbanyak belum sepenuhnya menunjukkan perfoma kependudukannya. Hanya sebagian kecil saja dari jumlah penduduk yang banyak di propinsi tersebut yang menjadi anggota koperasi. Dari sisi pembinaan, pemerintah (daerah) tersebut belum mampu memobilisasi penduduk menjadi anggota koperasi. Mobilisasi penduduk menjadi anggota adalah sangat perlu mengingat status koperasi sebagaimana UU 25/1992 adalah badan usaha yang merupakan kumpulan orang, bukan saham. Ini yang membedakannya dengan badan hukum perseroan terbatas (PT). Artinya, semakin banyak anggota semakin baik performa koperasi.
Tingkat kemiskinan propinsi (TKP), sebagai ukuran kemiskinan daerah, adalah rasio jumlah orang miskin dan jumlah penduduk provinsi. Bagaimanakah dengan tingkat kemiskinan yang terjadi di setiap provinsi? Grafik 3 men unjukkan tingkat kemi skinan di tia p provinsi ter sebut. Rata-rata TKP adalah 0.1419 atau jumlah orang miskin secara nasional adalah 14.19% dari jumlah penduduk pada tahun 2009. Bila TKP di bawah 0.1419 maka performa provinsi tersebut baik. Sebaliknya, bila TKP tinggi maka performa propinsi buruk. Sebagian besar provinsi performanya adalah baik ditinjau dari TKP, yakni sebanyak 18 provinsi. Secara berurutan yang terbaik adalah DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Banten, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Barat, Maluku Utara, Riau, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat karena di bawah nilai rata-rata TPK sebesar 0.1419. DKI Jakarta misalnya, TKP-nya sebesar 0.0337 atau jumlah orang miskin di DKI Jakarata hanya 3.37% dari jumlah penduduk. Selebihnya, sebanyak 15 provinsi menunjukkan posisi tidak baik. Umumnya, provinsi di Indonesia bagian Timur adalah daerah yang tingkat kemiskinannya sangat tinggi. Misalnya, TKP Papua Barat sebesar 0.3375 atau sebanyak 33.75% penduduk Papua Barat adalah miskin.
Beberapa provinsi di P. Jawa juga kalah posisi dengan provinsi luar P. Jawa. Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah, TKP-nya masingmasing 0.1607, 0.1697, dan 0.1768. Posisi provinsi ini di bawah Sumatera Selatan. Penduduk miskin di daerah tersebut masih sangat banyak. Khusus Jawa Timur, fenomena menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Mengapa tingkat kemiskinan masih tinggi? Padahal Jawa Timur selalu dianggap sebagai daerah yang sangat maju dan acuan bagi daerah lainnya. Fakta ini sebenarnya menunjukkan rendahnya kapasitas Jawa Timur dalam pembangunan daerah. Fenomena ini sejalan dengan performa propinsi tersebut dalam hal menarik investasi dimana RIPI (Regional Investment Performance Index) Jawa timur dalam menarik investasi nasional dan asing adalah rendah (Situmorang 2009a dan 2009b). Artinya, ukuran ekonomi Jawa Timur yang besar tidak serta merta memiliki performa baik dalam menanggulangi kemiskinan dan atau menarik investasi di daerah tersebut.
Posisi berdasarkan TAKP dan TKP tersebut dan penggunaan metode statistika estimasi interval dengan menggunakan margin of error, pada koefisien ke percayaan (coefficient of interval confidence) sebesar 95% yang ter lihat pada Lampiran Tabel 2, TAKP dan TKP dapat diklasifikasikan dalam tiga kategorial, yakni rendah (R) dengan TAKP < 0.11 dan TKP < 0.13, kategori sedang (S) dengan TAKP antara 0.11-0.13 dan TKP 0.13 – 0.17, dan kategori tinggi (T) dengan TAKP>0.13 dan TKP>0.17. Metode pengklasifikasian ter sebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan tingkat ke percayaan 95% ata u ke salahan sebesar 5%. Ha sil k lasifikasi dan distribusi propinsi dapat menunjukkan relasi keanggotaan koperasi dan kemiskinan setiap provinsi, dan selanjutnya menunjukkan keterkaitan antar random variable tersebut

Tabel 5.
Matriks Distribusi Propinsi Berdasarkan TAKP dan TKP


Ket: Distribusi dengan rata-rata 11.45%, margin of error 13.74%, dan α = 5% untuk TAKP dan rata-rata 14.19%, margin of error 17.67%, dan α = 5% untuk TKP

Pada Tabel 5 terlihat distribusi provinsi berdasarkan kedua variabelacak tersebut yang  tingkat keragamannya tinggi. Sebagian besar provinsi pada tahun 2009 masuk kategori rendah berdasarkan TAKP dan TKP. Beberapa provinsi di P. Jawa masuk dalam kategori rendah, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dilihat dari TAKP. Beberapa provinsi di P. Jawa, seperti DIYogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah masuk kategori sedang dan tinggi dalam hal kemiskinan. Masuknya beberapa provinsi di P. Jawa pada kategorial kurang baik menjadi fenomena tersendiri mengingat aksesibilitas P. Jawa jauh lebih baik daripada luar P. Jawa. Jawa Tengah dan NTB masuk dalam kategori yang sama dari sisi kemiskinan, tingkat kemiskinannya tinggi. Posisi yang terbaik dengan TAKP tinggi dan TKP rendah hanya lima provinsi, yakni Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. Posisi ini sebenarnya menjadi harapan dengan upaya penanggulangan kemiskinan dengan kehadiran koperasi sebagai lembaga perjuangan rakyat mengatasi kemiskinan.
Dari distribusi provinsi berdasarkan kategorial TAKP dan TKP pada Tabel 5, maka distribusi jumlah provinsi dapat ditampilkan pada Tabel 6. Sebanyak 19 provinsi masuk kategori rendah (R) dan hanya sebanyak 9 provinsi masuk kategori tinggi (T) menurut TAKP. Sisanya, sebanyak 5 provinsi masuk dalam kategori sedang (S). Sementara itu, berdasarkan TKP, terdapat sebanyak 16 provinsi masuk kategori rendah (R) tingkat kemiskinannya dan sebanyak 12 provinsi masuk kategori tinggi (T). Sisanya, sebanyak 5 provinsi masuk kategori sedang (S). Distribusi jumlah propinsi dengan TAKP renda dan TKP rendah adalah yang terbanyak, sebesar 9 provinsi, menyusul TAKP rendah dan TKP tinggi sebanyak 8 provinsi. Sedangkan TAKP tinggi dan TKP rendah hanya sebanyak 5 provinsi. Distribusi ini telah menggambarkan relasi yang kurang sejalan dengan harapan dimana yang semestinya adalah frekuensi terbanyak adalah ketika TAKP tinggi dan TKP rendah. Kemudian dari Tabel 5, dapat dihitung joint probability dan marginal probability antara tingkat anggota koperasi dan tingkat kemiskinan.

Tabel 6.
Matriks Distribusi Jumlah Propinsi Berdasarkan TAKP dan TKP, Tahun 2009

Pada Tabel 7 terlihat joint probability yang merupakan interaksi antar kejadian, ditunjukkan oleh angka pada baris dan kolom sebagai interaksi TAKP dan TKP. Misalnya, angka 0.2727, 0.0606, dan seterusnya sampai angka terakhir yang juga 0.0606 adalah joint probability antara TAKP dan TKP. Angka 0.2727 adalah joint probability antara kategori TAKP rendah dengan kategori TKP rendah, dan seterusnya. Jadi, interaksi TAKP yang rendah dengan TKP yang rendah sebesar 27.27%, TAKP rendah dengan TKP sedang sebesar 6.06%, dan TAKP rendah dengan TKP tinggi sebesar 24.24%. Joint probability tertinggi adalah antara TAKP rendah dan TKP rendah, sebesar 27.27%, dan yang terendah adalah TAKP sedang dan TKP sedang sebesar 3.03%.
Sedangkan marginal probability adalah probabilitas sisa yang ditunjukkan oleh baris dan kolom total. Angka pada kolom Total sebesar 0.5758, 0.1515, dan 0.2727 adalah marginal probability yang merupakan probabiltas kejadian di luar interkasi antar kejadian yang tampak dari kategori TAKP yang rendah sebesar 57.58%, sedang sebesar 15.15%, dan tinggi sebesar 27.27%. Sedangkan angka pada baris Total sebesar 0.4848, 0.1515, dan 0.3636 adalah marginal probability dari kategori TKP yang rendah sebesar 48.48%, sedang sebesar 15.15%, dan tinggi sebesar 36.36%. Marginal probability tertinggi adalah pada kejadian TAKP rendah, sebesar 0.5758. Artinya, kemungkinan menemukan propinsi dengan tingkat anggota yang rendah adalah sebesar 57.58%. Marginal probability terendah pada kejadian TAKP adalah pada kategori sedang, sebesar 0.1515. Artinya, kemungkinan ditemukan propinsi yang TAKP-nya sedang adalah sebesar 15.15%. Marginal probability TKP tertinggi adalah pada kategori rendah, yakni 0.4848. Artinya, kemungkinan ditemukan provinsi yang TKP rendah adalah sebesar 48.48%, dan terendah adalah kategori sedang, sebesar 0.1515 dimana kemungkinan ditemukan provinsi dengan kategori tingkat kemiskinan sedang adalah sebesar 15.15%.

Tabel 7.
Joint dan Marginal Probability Tingkat Anggota Koperasi Propinsi
dan Tingkat Kemiskinan Propinsi, 2009

Pengoperasian probabilitas untuk mengatahui seberapa jauh peluang koperasi mendukung penanggulangan kemiskinan lebih jelas terlihat dengan metode tree analysis (Analisis Pohon). Gambar 3 menampilkan analisis pohon tersebut dimana dua langkah (step) yang terbangun untuk mengetahui relasi koperasi dan penanggulangan kemiskinan. Step-1 menunjukkan probabilitas kejadian TAKP sebagaimana Tabel 6, yakni kategori rendah 0.5758, sedang 0.1515, dan tinggi 0.2727. Pada step-2, probabilitas kejadian TKP, yakni kategorial rendah, sedang, dan tinggi terkait dengan kategori rendah TAKP (conditional probabaility TKP atas TAKP) adalah masing-masing 0.4737, 0.1053, dan 0.4211. Dengan kata lain, probabilitas kategori rendah, sedang, dan tinggi pada step-2 yang terkait dengan kejadian atau kategori rendah pada step-1 adalah masing-masing sebesar 47.37%, 10.53%, dan 42.11%7.
Probabilitas pada step-2 untuk kategori rendah, sedang, dan tinggi yang terkait pada kondisi kategori sedang pada step-1 masing-masing adalah sebesar 0.4000, 0.2000, dan 0.4000. Artinya probabilitas step-2 tersebut masingmasing 40%, 20%, dan 40%. Sedangkan untuk probabilitas rendah, sedang, dan tinggi pada step-2 yang terkait pada kondisi kategori tinggi pada step-1 adalah masing-masing 55.56%, 22.22%, dan 22.22%. Hasil atau outcome dari step-1 dan step-2 terlihat ketika propinsi dengan tingkat anggota koperasi yang tinggi terkait dengan tingkat kemiskinan yang rendah hanya muncul satu hasil yang disimbolkan dengan TR adalah probabilitas sebesar 0.1515. Artinya, peluang provinsi dengan tingginya anggota koperasi dan juga tingkat kemiskinan rendah hanya sebesar 15.15%. Dari 33 provinsi di Indonesia, maka hanya sebanyak 5 provinsi kemungkinannya pada posisi yang baik dimana koperasi mendukung pengurangan jumlah orang miskin. Bila digabungkan dengan kategori tinggi pada step-1 dan kategori sedang pada step-2 dengan simbol TS maka probabilitasnya menjadi 21.21%. Artinya, dari 33 provinsi yang ada hanya sebanyak 7 provinsi kemungkinannya menunjukkan performa yang baik dalam penanggulangan kemiskinan dengan hadirnya koperasi di provinsi itu. Sisanya, adalah tidak baik. Anehnya, manakala tingkat anggota koperasi rendah dan tingkat kemiskinan rendah dengan simbol RR, probabilitasnya mencapai 27.27%, jauh lebih tinggi dari TR. Ini seolah-olah suatu kondisi
paradoksial.
Berdasarkan relasi probabilitas tersebut, performa pembangunan koperasi terlihat dari 33 provinsi di Indonesia, dengan tingkat anggota koperasi yang rendah mendorong rendahnya kemiskinan adalah sebanyak 9 provinsi. Bila digabungkan dengan kategori rendah TAKP dan rendah pula TKP maka probabilitas mencapai 33.33%. Artinya, kemungkinan provinsi yang rendah tingkat anggota koperasi akan mendukung penanggulangan kemiskinan adalah mencapai 11 provinsi. Dengan mengambil sampel provinsi di P. Jawa dengan enam provinsi, maka kemungkinan relasi koperasi yang mampu mendukung penanggulangan kemiskinan adalah sebanyak satu provinsi. Di Pulau Sumatera, misalnya, kemungkinannya hanya sebanyak dua provinsi dari sepuluh provinsi. Sedangkan di bagian Timur, juga hanya sebanyak dua provinsi dari 12 provinsi. Fakta ini sejalan dengan pendapat beberapa penggiat perkoperasian dalam mengamati perkembangan koperasi di era reformasi. Dalam realitas global, menurut Rahardjo (2010), dari 300 koperasi terbesar di dunia versi ICA8, tidak termasuk koperasi Indonesia. Bahkan, koperasi besar tersebut terdapat di negara-negara kapitalis-liberal yang tidak memiliki UU perkoperasian dan kementerian yang membidangi koperasi. Sementara itu, koperasi jarang bergerak di sektor produksi, pengolahan, pemasaran, dan distribusi (Sularso, 2010).
Dari hasil analisis di atas dapat dinyatakan bahwa dukungan koperasi atas penanggulangan kemiskinan masih rendah. Padahal target grup pembangunan KUKM adalah kelompok usaha skala mikro yang dianggap sebagai kelompok usaha yang sangat tertinggal di antara kelompok usaha. Mereka pada umumnya adalah anggota koperasi dimana seluruh upaya pemerintah, khususnya bantuan pembiayaan dilakukan melalui koperasi. Upaya pemerintah yang meluncurkan berbagai program penanggulangan kemiskinan memang perlu tapi tidak cukup menjadikan koperasi sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan. Partisipasi lembaga lain, khususnya Dewan Koperasi yang terbentuk berdasarkan amanah UU perkoperasian, sangat dibutuhkan sebagai mitra pemerintah. Selama ini, peran Dewan Koperasi tidak terlalu mendukung keberadaan koperasi karena Dewan Koperasi belum berperan sebagai wadah menampung aspirasi gerakan koperasi. Menurut Situmorang (2009), Dewan Koperasi Indonesia menjadi semacam koperasi juga yang menyelenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan usaha sebagaimana layaknya koperasi. Fungsi pengawasan atas implementasi prinsip koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lainnya yang mestinya menjadi kewenangan Dewan Koperasi, tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, Dewan Koperasi harus mampu melakukan transformasi struktural perkoperasian menuju lembaga yang tangguh.
Relasi yang rendah tersebut juga didukung oleh keberadaan koperasi yang ambivalen. Pada satu sisi koperasi dinyatakan sebagai lembaga meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semestinya menjadi wilayah pemerintahan. Pada sisi lain koperasi dinyatakan badan usaha yang berwatak sosial. Sebagai badan usaha yang berbadan hukum, koperasi adalah sebagai perusahaan sebagaimana layaknya dunia usaha, seperti perseroan terbatas. Ketika koperasi sebagai lembaga mengatasi kemiskinan maka koperasi selayaknya adalah instrumen pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Keberadaan koperasi merupakan rekayasa pemerintah dengan melibatkan masyarakat miskin, mengingat rakyat miskin sangat tidak mungkin mampu mengorganisasikan diri sendiri dalam organisasi formal. Manakala koperasi sebagai badan hukum maka keberadaaannya murni atas pembentukan anggota yang mempunyai kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bisnis. Koperasi seperti ini lepas dari persoalan kemiskinan karena anggotanya pasti adalah kelompok masyarakat bukan miskin.


Nama   : Tanti Tri Setianingsih
NPM   : 27211023
Kelas   : 2EB09