all about my task




Sunday, April 5, 2015

Perkembangan Akuntansi di Indonesia

Perkembangan Akuntansi Di Indonesia
Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusuri pada era penjajahan Belanda sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan di Amphioen Sociteyt yang bekedudukan di Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan memainkan peranan penting dlam praktik bisnis di Indonesia selama era ini (Diga dan Yunus 1997).
Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing  mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan maYunus 1990). Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang yang pertama melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schage yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995).
Pengiriman Van Schagen merupakan  titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara-Government Account Dienst yang terbentuk pada tahun 1915 (Soemarso 1995). Akuntan Publik yang pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y. Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting Accountant Dienst (Soemarso 1995). Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesia pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku paada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929 (Soemarso 1995).
Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Sampai tahun 1947 hanta ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soemarso 1995). Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga dan Yunus 1997).
Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling pada praktik akuntansu model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institusi Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntan Negara-STAN) 1990, Universitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 (Soemarso 1995) telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960 (ADB 2003). Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika (Diga dan Yunus 1997).
Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehknorat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasar dengan dukungan praktik akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan kuat dari investor asing dan lembaga lembaga internasional (Rosser 1999). Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal 1990an, dalam praktik banya ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan, satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan keputusan, satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing, dan satu lagi yang menunjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik 1994).
Pada awal tahun 1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor. Skandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta go public pda tahun 1990 tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwritternya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty (pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser (1999) mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbiki jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model “casino” menjadi model yang dapat memobilisasi aliran investasi jangka panjang.
Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kedua, pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia (World Bank) melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang ditunjukkan untuk mengembangkan regulasi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal (Rosser 1999).
Jatuh nilai rupiah pada tahun 1997 – 1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan konglomerat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF dan melakukan negosiasi atas berbagai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency).

 Periodisasi Perkembangan Akuntansi di Indonesia
Periodisasi perkembangan akuntansi di Indonesia dapat dibagi atas : Zaman kolonial dan zaman kemerdekaan.
Periodisasi perkembangan akuntansi di Indonesia dapat dibagi atas : Zaman kolonial dan zaman kemerdekaan.
1.    Zaman Kolonial
Sebelum bangsa Eropa: Portugis, Spanyol, dan Belanda masuk ke Indonesia transaksi dagang dilakukan secara barter. Cara ini tidak melakukan pencatatan. Pada waktu orang –orang Belanda datang ke Indonesia kurang lebih akhir abad ke-16, mereka datang dengan tujuan untuk berdagang kemudian mereka membentuk perserikatan Maskapai Belanda yang dikenal dengan nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) , yang didirikan pada tahun 1602, sebagai peleburan dari 14 maskapai yang beroprasi di Hindia Timur. Selanjutnya VOC membuka cabangnya di Batavia tahun 1619 dan di tempat-tempat lain di Indonesia. Kemudian dibentuk jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani urusan-urusan VOC. Akhir abad ke-18 VOC mengalami kemunduran dan akhirnya dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Dalam kurun waktu itu, VOC memperoleh hak monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan secara paksa di Indonesia, dimana jumlah transaksi dagangnya, baik frekuensi maupun nilainya terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun itu bisa dipastikan Maskapai Belanda telah melakukan pencatatan atas mutasi transaksi keuangan.
Dalam hubungan itu, Ans Saribanon Sapiie (1980), mengemukakan bahwa menurut Stible dan Stroomberg, bukti autentik mengenai catatan pembukuan di Indonesia paling tidak sudah ada menjelang pertengahan abad ke-17.
Hal itu ditunjukkan dengana adanya sebuah Instruksi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1642 yang mengharuskan dilakukan pengurusan pembukuan atas penerimaan uang, pinjaman-pinjaman, dn jumlah uang yang diperlukan untuk penegeluaran (eksplorasi) garnisun-garnisun dan galangan kapal yang ada di Batavia dan Surabaya.

2.    Zaman Penjajahan Belanda
Setelah VOC bubar pada tahun 1799, kekuasaannya diambil alih oleh Kerajaan Belanda, zaman penjajahan Belanda dimulai tahun 1800-1942. Pada waktu itu, catatan pembukuan menekankan pada mekanisme debet dan kredit, yang diantara lain dijumpai pada pembukuan Amphioen Socyteit di Batavia. Amphioen socyteit bergerak dalam  usaha morfin (amphioen) yang merupakan usaha monopoli di Belanda.
Pada abad ke-19 banyak perusahaan Belanda didirikan atau masuk ke Indonesia dengan membuka cabang atau perwakilan, yang antara lain sebagai berikut :
a. Deli Maatschaappij (perkebunan)
a.    Biliton Maatschaappij (timah)
b.    Bataafche Petroleum Maatschaappij (minyak)
c.    Koninklijke Paketvaart Maatschaappij (pelayaran nusantara), setelah dinasionalisasikan oleh pemerintah RI menjadi perusahaan pelayaran nasional (PELNI)
d.    Rotterdamsch Lloyd (maskapai atau agen pelayaran internasional), setelah dinasionalisasikan menjadi Djakarta Lloyd
e.    Koninklijke Nederlands Indische Luhtvaart Maatschaappij (penerbangan nusantara), setelah dinasionalisasikan menjadi Garuda Indonesia Airways
f.     Stoomvart Maatschaappij Nederlands
g.    Firma Ruys of de Oost
h.    Nederlands Handel’s Bank
i.      Algeme Handel’s Bank

Untuk mengangkut hasil produksi perkebunan dan tambang, dibuka jalan kereta api dari daerah asal menuju ke pelabuhan. Kereta api yang pertama diadakan pada tahun 1870 yang menghubungkan antara daerah pedalaman Jawa Tengah dengan Semarang, menyusul dari pedalaman Jawa Barat ke pelabuhan Tanjung Priok, dari pedalaman Jawa Timur ke pelabuhan Tanjung perak dan dri pedalaman Sumatra Selatan ke Palembang. Di samping jalan kereta api juga dibangun dan/atau ditingkatkan ke jalan darat untuk melancarkan arus produksi perkebunandan pertambangan ke kota-kota pelabuhan.
Catatan pembukuannya merupakan modifikasi sistem Venesia-Italia, dan tidak dijumpai adanya kerangka pemikiran konseptual untuk mengembangkan sistem pencatatan tersebut karena kondisinya sangat menekankan pada praktik-praktik dagang yang semata-,mata untuk kepentingan perusahaan Belanda. Sedangkan, segmen bisnis menengah kebawah dikuasai oleh pedagang keturunan, yaitu : Cina, India, dan Arab. Sejalan dengan itu, ada kebebasan dalam penyelenggaraan pembukuan sehingga praktik pembukuannya menggunakan atau dipengaruhi oleh sistem asal etnis yang bersangkutan.
Hadibroto (1992) mengihtisarkan sistem pembukuan asal etnis sebagai berikut.
a.    Sistem pembukuan Cina, terdiri dari 5 kelompok, yaitu :
Ø  Sistem Hokkian (amoy)
Ø  Sitem Kanton
Ø  Sistem Hokka
Ø  Sistem Tio Tjoe atau sistem Swatow
Ø  Sistem Gaya Baru (New system).
b.    Sistem pembukuan India atau Sistem Bombay
c.    Sistem pembukuan arab atau Hadramaut.

Pada waktu Indonesia merdeka, ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo baru menyelesaikan pendidikan akuntannya di negeri Belanda pada tahun 1956. Akuntan Indonesia pertama yang merupakan lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tien Siem. Mereka lulus pada pertengahan tahun 1957, keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo memprakarsai berdirinya perkumpulan Akuntan Indonesia.
Dengan menyadari keindonesiaannya, mereka berkeyakinan bahwa tidak mungkin menjadi anggota NIVA (Nederlands Insttitute Van Accountants). Mereka juga berpendapat bahwa kedua lembaga itu dipastikan tidak mungkin akan memikirkan perkembangan dan pembinaan akuntan di Indonesia.

Pada hari kamis tanggal 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karen pertemuan tersebut tidak dihadiri semua akuntan yang ada, maka diputuskanlah untuk membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia ini bertugas menghubungi akuntan lainnya untuk menyatakan pendapat mereka mengenai usulan pendirian perkumpulan akuntan Indonesia. Dalam panitia itu, Prof. Soemardjo ditunjuk sebagai ketua, Go Tien Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta nsebagai bendahara, sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebgai komisaris. Surat yang dikirimkan pada panitia ke 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju. Perkumpulan yang diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya terbentuk pada tanggal 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.

Sumber:
https://www.academia.edu/8932546/PERKEMBANGAN_AKUNTANSI_DI_INDONESIA
 http://derryjie.blogspot.com/2013/07/makalah-akuntansi-perkembangan.html