Review
2
URGENSI HUKUM PERIKATAN ISLAM DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Oleh : Achmad Fauzi, S.HI
Calon Hakim Pengadilan Agama Balikpapan,
alumnus UII
I. Hukum
Perikatan dalam Borgelijk Wetboek (BW)
Secara
etimologi Undang-Undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud daripada perikatan.
Begitu pula Code Civil Perancis maupun Borgelijk Wetboek (BW) Belanda yang
merupakan concodantie BW kita. Secara etimologi perikatan (Verbintenis) berasal
dari kata kerja “verbinden” yang artinya mengikat (ikatan atau hubungan).
Verbintenis bisa disebut dengan istilah perikatan, perutangan, atau perjanjian.
Perikatan bisa diartikan juga setuju atau sepakat, dari arti kata overeenkomen.
Menurut
terminologi, perikatan merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara sejumlah terbatas subyek hukum. Sehubungan dengan itu,
seseorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur)
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu atas sesuatu
prestasi terhadap pihak yang lain (kreditur atau para kreditur). Jadi
unsur-unsur perikatan meliputi hubungan hukum, kekayaan, pihak-pihak dan
prestasi.
Apabila
debitur tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan, maka ia dikatakan
melakukan wanprestasi. Kreditur dapat menuntut pemenuhan parikatan, pemenuhan
perikatan dengan ganti rugi, ganti rugi, pembatalan persetujuan timbal balik,
pembatalan dengan ganti rugi, dan pembatalan debitur yang dituduh lalai.
Seorang
debitur yang lalai dapat mengajukan pembelaan diri dengan mengajukan beberapa
alasan yang membebaskan hukum, yaitu keadaan memaksa (overmacht/force majure),
kreditur juga melakukan kelalaian (exception nonadimpleti contractus), kreditur
telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverweking).
Jika
hukum benda memiliki suatu sistem tertutup, maka hukum perikatan menganut
sistem terbuka (Aanvullenrecht). Artinya, para pihak boleh membuat
aturan-aturan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal perjanjian. Akan tetapi jika
mereka tidak mengatur sendiri, berarti mengenai perkara tersebut, mereka kan
tunduk kepada undang-undang. Sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan
berkontrak disimpulkan dari pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya” (pacta sunt servanda).
Sistem
terbuka juga mengandung pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang
diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal
saja dalam masyarakat pada waktu KUHPer dibentuk.
Dalam
hukum perjanjian juga berlaku asas konsensualisme, yakni pada dasarnya
perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila
telah tercapai kesepakatan mengenai hal yang pokok dari perjanjian itu.
Misalnya, mengenai barang dan harga dalam jual beli.
Asas konsensualisme tersebut lazimnya
disimpulkan dari ketentuan pasal 1320 KUHPer yang berbunyi “Untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat; kesepakatan mereka yang mengikat dirinya
(the consent of those who bind themselves), kecakapan untuk membentuk suatu
perikatan (the capability to make an agreement), suatu hal tertentu (a
particular object), suatu sebab yang halal (a lawful cause/oorzaak)”. Syarat
“kata sepakat dan cakap” disebut sebagai syarat subjektif yang apabila tidak
dipenuhi mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar). Sedangkan
syarat “suatu hal tertentu dan sebab yang halal” disebut sebagai syarat
objektif yang apabila tidak dipenuhi menimbulkan perjanjian batal demi hukum
(nietig).
II. Hukum
Perjanjian dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Perjanjian
dalam bahasa Arab lazim disebut dengan akad. Dalam pasal 20 angka 1 KHES
dirumuskan bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Pada pasal 22 disebutkan rukun akad terdiri atas ; pihak yang melakukan akad,
objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan.
Pihak
yang berakad disebut juga subjek hukum. Dalam pasal 1 angka 2 subjek hukum
adalah orang perorangan, persekutuan atau badan usaha yang berbadan hukum atau
tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum untuk mendukung hak dan
kewajiban. Kategori kecakapan dalam pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa orang
dipandang cakap apabila telah berumur sekurangkurangnya 18 tahun atau pernah
menikah. Dalam hal seorang anak belum mencapai umur 18 tahun dapat mengajukan
permohonan pengakuan cakap melakukan perbuatan hukum kepada Pengadilan. Jika
terbukti dalam persidangan pemohon tidak memenuhi kriteria orang yang cakap
hukum, maka menurut pasal 4 perlu mendapat perwalian. Di samping mereka yang
masih di bawah umur, pasal dalam KHES juga menentukan perwalian kepada orang dewasa
yang dianggap tidak cakap. Hal ini mirip dengan ketentuan BW terhadap orang
yang berada di bawah pengampuan (curatele). Hanya saja dalam KHES tidak
dikemukakan dalam hal apa saja orang dapat ditempatkan di bawah pengampuan.
Pasal
6 KHES menentukan kewenangan pengadilan dalam kaitan dengan perwalian. Ayat 1,
pengadilan berwenang menetapkan perwalian bagi orang yang dipandang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Ayat 2, pengadilan berwenang menetapkan orang untuk
bertindak sebagai wali sebagaimana dimaksud pada ayat 1. kemudian pada pasal 7
disebutkan bahwa pengadilan dapat menetapkan orang yang berutang berada dalam
perwalian berdasarkan permohonan orang yang berpiutang. Kata-kata pengadilan
dalam ketentuan di atas harus dibaca Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
KHES
menggunakan istilah Muwalla untuk menyebut orang yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum dan ditetapkan dalam perwalian. Lebih lanjut pasal 9
menjelaskan bahwa muwalla dapat melakukan perbuatan hukum yang menguntungkan
dirinya, meskipun tidak mendapatkan izin wali; tidak dapat melakukan suatu
perbuatan hukum yang merugikan dirinya, meskipun atas izin wali; keabsahan
perbuatan hukum muwalla atas hak kebendaannya yang belum jelas akan
menguntungkan atau merugikan dirinya bergantung pada izin wali; apabila terjadi
perselisihan antara muwalla dengan wali, muwalla dapat mengajukan permohonan ke
pengadilan untuk ditetapkan bahwa yang bersangkutan memiliki kecakapan
melakukan perbuatan hukum.
Rukun
kedua dari akad adalah objek akad. Pasal 24 KHES menyebut bahwa objek akad
adalah amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh masing-masing pihak.
Pengertian amwal pada pasal 1 angka 9 adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai,
diusahakan dan dialihkan, baik benda berwujud maupun abstrak, baik benda
terdaftar maupun tidak terdaftar, benda bergerak atau tidak bergerak, dan hak
yang mempunyai nilai ekonomis. Dalam pengertian tersebut dapat dikemukakan
macam perbedaan pengertian benda antara lain ;
1. Benda
berwujud dan tidak berwujud
a)
Benda
berwujud adalah benda yang dapat diindera (pasal 1 angka 10).
b)
Benda
tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak adapat diindera (pasal 1 angka
11).
2. Benda
bergerak dan tidak bergerak
a)
Benda
bergerak adalah segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke
tempat lain (pasal 1 angka 12).
b)
Benda
tidak bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari suatu
tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya dietntukan oleh Undang-Undang
(pasal 1 angka 13).
3. Benda
terdaftar dan tidak terdaftar
a)
Benda
terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan
warkat yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang (pasal 1 angka 14) .
b)
Benda
tidak terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan
berdasarkan alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak (pasal
1 angka 15).
Selain
itu dalam pasal 1 angka 9 disebutkan juga bahwa amwal adalah hak yang memiliki
nilai ekonomis. Uang dan surat berharga masuk dalam ketegori ini. Hanya saja
uang bukanlah sebagai komoditas, melainkan sebagai alat pembayaran yang sah.
Rukun
ketiga dari akad adalah tujuan pokok akad. Ketentuan khusus tentang hal ini
disebutkan pada pasal 25 KHES yang menyatakan bahwa akad bertujuan memenuhi
kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang melakukan akad.
Namun tidak semua tujuan dibenarkan karena tujuan yang dibenarkan hanyalah
untuk akad yang sah. Pasal 28 ayat (1) menyatakan akad yang sah adalah akad
yang terpenuhi rukun dan syaratnya. Akad tidak sah apabila bertentangan dengan
syariat Islam, peraturan perundangundangan, ketertiban umum, kesusilaan (pasal
26 KHES).
Pasal
27 dan 28 disebutkan bahwa hukum akad terbagi dalam 3 kategori;
1. Akad yang sah
adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya;
2. Akad yang
fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya namun terdapat hal lain
yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat;
3. Akad yang
batal adalah akad yang kurang syarat dan rukunnya.
Rukun
akad yang keempat adalah kesepakatan. Dalam KHES tidak
ditemukan aturan
tentang kesepakatannya sendiri, hanya diatur cacatnya sebuah
kesepakatan,
yakni apabila dalam akad tersebut mengandung unsur ghalat
(khilaf), ikrah
(paksaan), taghrir (tipuan), dan gubhn (penyamaran).
Berdasarkan
hal ini ada 4 hal yang menyebabkan cacatnya sebuah kesepakatan;
a)
Ghalath
atau khilaf
Pasal 30
menyatakan kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu akad kecuali khilaf
itu terjadi mengenai hakikat yang menjadi pokok perjanjian;
b)
Ikrah
atau paksaan
Pasal 31
menyatakan paksaan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu bukan berdasar
pilihan bebasnya dan pasal 32 menyebutkan bahwa paksaan dapat menyebabkan
batalnya akad apabila pemaksa mampu untuk melaksanakannya, pihak yang dipaksa
memiliki persangkaan yang kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan apa yang
diancamkannya apabila tidak patuh pada perintah pemaksa, yang diancamkan
benar-benar menekan kondisi jiwa orang yang diancam, ancaman akan dilaksanakan secara
serta merta, paksaan bersifat melawan hukum.
c)
Taghrirat
atau tipuan
Dalam pasal 33
KHES disebutkan bahwa penipuan adalah pembentukan akad melalui tipu daya.
Dengan dalih untuk kemaslahatan, tetapi kenyataannya untuk memenuhi
kepentingannya sendiri. Pasal 34 menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan
pembatalan suatu akad.
d)
Gubhn
atau penyamaran
Pasal 35 KHES
menegaskan penyamaran sebagai keadaan yang tidak imbang antara prestasi dengan
imbalan prestasi dalam suatu akad.
Abdul
Kadir Muhammad menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi berlakunya perjanjian
adalah karena kekeliruan, perbuatan curang, pengaruh tidak pantas, dan
ketidakcakapan dalam membuat perjanjian.3
Hal
penting lain yang perlu diperhatikan adalah berkenaan dengan asas akad. Pasal 21
menyatakan bahwa akad dilakukan berdasar 11 asas :
a)
Sukarela/ikhtiyari
(setiap akad dilakukan berdasarkan kehendak para pihak dan bukan karena
keterpaksan);
b)
Menepati
janji/amanah (setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak);
c)
Kehati-hatian/ikhtiyati
(setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang);
d)
Tidak
berubah (setiap akad memiliki tujuan yang jelas dan terhindar dari spekulasi);
e)
Saling
menguntungkan (setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak
sehingga terhindar dari manipulasi);
f)
Kesetaraan/taswiyah
(para pihak yang melaksanakan akad memiliki kedudukan yang setara, memiliki hak
dan kewajiban yang simbang);
g)
Transparansi
(akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka);
h)
Kemampuan
(akad dilakukan sesuai kemampuan para pihak);
i)
Kemudahan/taisir
(akad memberi kemudahan bagi masing-masing pihak untuk melaksanakannya);
j)
Itikad
baik (akad dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemaslahatan);
k)
Sebab
yang halal (akad tidak bertentangan dengan hukum).
Perjanjian
yang tidak dilaksanakan dengan itikad baik sering disebut dengan wanprestasi
atau ingkar janji. Dalam pasal 36 KHES dikatakan bahwa pihak dikategorikan
melakukan ingkar janji apabila tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk
melakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikan namun tidak sebagaimana yang
dijanjikan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak dibolehkan. Pihak yang ingkar janji menurut pasal
38 KHES dapat dijatuhi sanksi berupa pembayaran ganti rugi, pembatalan akad,
peralihan resiko, denda dan pembayaran biaya perkara. Khusus mengenai
pembayaran ganti rugi, pasal 39 KHES menyatakan bahwa pembayaran ganti rugi
dapat dijatuhkan apabila pihak yang melakukan wanprestasi setelah dinyatakan
ingkar janji tetap melakukan ingkar janji, sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya, pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa
perbuatan ingkar janjinya tidak dibawah paksaan.
III. Kewenangan
Absolut Pengadilan Agama terhadap Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Syariah
Pengadilan
Agama memiliki kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah.
Hal ini didasarkan atas ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan
bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.”. Sebelum diundangkannya UU No.3
Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan perundang-undangan yang
secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa
dan mengadili perkara ekonomi syari’ah.
Namun
demikian, meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, perangkat hukum materiil
maupun perangkat hukum formil perlu terus dibenahi. Lahirnya UU No. 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah dan PERMA No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) tidak serta merta mencukupi kebutuhan hakim dalam
melakukan tugas-tugas barunya, sehingga perlu dilakukan terobosan hukum guna
memenuhiperkembangan kebutuhan hukum masyarakat.
Terobosan
tersebut adalah pertama: dengan melakukan penafsiran argumentum per analogian
(analogi), yakni dengan memperluas berlakunya peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan ekonomi
syari’ah karena adanya persamaanpersamaan antara keduanya; kedua: dengan
menerapkan asas lex posterior derogat legi apriori, yakni bahwa hukum yang baru
mengalahkan hukum yang lama. Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum
lama yang dahulu tidak berlaku pada Pengadilan Agama menjadi berlaku karena
adanya kesamaankesamaan antara keduanya dan aturan-aturan yang berkaitan dengan
ekonomi syari’ah yang dahulu bukan menjadi kewenangan Pengadilan Agama maka sekarang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama dengan adanya UU No.3 Tahun 2006, sepanjang
berkenaan dengan ekonomi syari’ah.
Diantara
peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi adalah UU No.30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dan UU
No.4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan. Melalui
penafsiran argumentum per analogian (analogi), maka ketentuan UU No.30 Tahun
1999 dan UU No.4 Tahun 1998 tersebut diberlakukan pada Pengadilan Agama.
Kata-kata ‘Pengadilan Negeri’ atau ‘peradilan umum’ dalam Undang-Undang
tersebut dapat diberlakukan pada ‘Pengadilan Agama’ atau ‘peradilan agama’
sepanjang menyangkut ekonomi syari’ah. Berbagai ketentuan tentang badan arbitrase
dalam Undang-Undang tersebut secara mutatis mutandis diterapkan pada Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (Basyarnas) sebagai satu-satunya badan arbitrase dalam
ekonomi syari’ah yang ada di Indonesia. Demikian juga halnya tentang kepailitan.
Dengan mengadopsi dua Undang-Undang tersebut maka dapat dipakai sebagai pedoman
dalam menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan alternatif penyelesaian
sengketa, arbitrase, dan kepailitan di bidang ekonomi syari’ah pada Pengadilan
Agama.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 jis UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun
1998, maka kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah
ini meliputi:
- Menunjuk
arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai
pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan
arbiter (Pasal 13-15 UU No.30 Tahun 1999);
- Memutus
hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari mereka
terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama (Pasal 22-25 UU
No.30 Tahun 1999);
- Mendaftar
keputusan Basyarnas yang harus didaftarakan dalam tempo 30 hari sejak
putusan diucapkan (Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999);
- Melaksanakan
keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan keputusan
Basyarnas melalui eksekusi paksa manakala diperlukan (Pasal 59- 63 UU
No.30 Tahun 1999). Keputusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan
Agama manakala telah terdaftar sebelumnya di Kepaniteraan Pengadilan Agama
selambat-lambatnya 30 hari setelah penandatanganan keputusan tersebut
(Pasal 6 ayat (7) UU No.30 Tahun 1999). Apabila ketentuan ini tidak
diindahkan maka keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi (Pasal 59 ayat
(4) UU No.30 Tahun 1999);
- Menyatakan
pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membeyar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 1
ayat (1) UU No.4 Tahun 1998);
- Memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49 UU No.3
Tahun 2006).
IV. Langkah
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Litigasi
Proses
penyelesaian perkara ekonomi syari’ah melalui jalur litigasi dilakukan dengan
terlebih dahulu memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi
atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya
telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan
penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas
dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim
menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak
dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim
dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS). Hakim memeriksa syarat formil perkara
yang meliputi kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan)
Pengadilan Agama baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat
menentukan tergugat (tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak
obscuur, perkara yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak
terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Apabila ternyata para pihak telah
terikat dengan perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang
memeriksa dan mengadilinya (Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999). Apabila syarat formil
telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam
persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan
kedua belah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi.
Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. Apabila tidak
dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Hakim melakukan konstatiring terhadap dalildalil gugat dan bantahannya melalui
tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, dan
pembuktian. Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan
musyawarah hakim. Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat
putusan.
Dalam
memeriksa dan mengadili tingkat pertama sengketa ekonomi syariah, hukum
perikatan Islam memang memiliki kedudukan penting. Sebab, segala bentuk
peristiwa hukum mengenai kegiatan ekonomi syariah diawali dengan akad yang
memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian. Tanpa menguasai hukum perikatan Islam, mustahil hakim dapat memutus
dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan benar dan adil. Ambil contoh
jenis-jenis kegiatan usaha Bank Umum Syariah yang di dalamnya tidak pernah
terlepas dari akad;
- Bank
Umum Syariah menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa deposito,
tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah,
akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah,
akad salam, akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat
berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan
prinsip syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah, mudharabah,
murabahah, kafalah, atau hawalah;
- Bank
Umum Syariah membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang
diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
- Bank
Umum Syariah menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga
berdasarkan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu akad yang berdasarkan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah berdasarkan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah;
- Bank
Umum Syariah memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi
berdasarkan prinsip syariah;
- Bank
Umum Syariah melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang
perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ekonomi
syariah merupakan yurisdiksi baru Pengadilan Agama. Istilah ekonomi syariah
merupakan hal spesifik di Indonesia karena istilah tersebut hampir tidak
dikenal di negara-negara Islam lainnya. Di banyak negara dan di lingkungan
akademik dikenal dengan istilah “Ekonomi Islam” atau “Islamic Economic” sebagai
padanan dari istilah Arab “al-Iqtishadi al-Islami”. Ekonomi syariah dapat didefinisikan perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah5, antara lain
meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah,
reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian
syariah, dana pensiun syariah, bisnis syariah dan lain-lain.
a)
Bank
syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan
jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut pasal 1 angka 7
Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menerangkan bahwa
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah.6
b)
BMT
sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan
syariah terdiri dari 2 istilah yakni baitul maal dan baitut tamwil.
Baitul maal lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana
non-profit (ZIS). Baitut tamwil mengarah pada usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial. Kegiatan utama dari lembaga ini adalah
menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi
hasil atau mark-up/margin (sesuai syariah ). Prinsip dan mekanismenya hampir
sama dengan perbankan syariah hanya skala produk dan jumlah pembiayaannya
terbatas. Latar belakang lahirnya BMT karena adanya kemiskinan massif,
perbankan belum bisa akses ke masyarakat miskin, mayarakat miskin mendapatkan
sumber dana mahal, lembaga/badan usaha yang ada belum sesuai dengan syariah,
pemberdayaan masyarakat muslim melalui lembaga masjid, pembinaan pengembangan
usaha masyarakat.
c)
Dalam bahasa Belanda, Asuransi biasa disebut dengan
istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).
Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-tamin
yang secara bahasa berarti tuma’ninatun nafsi wa zawalul khauf,
tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut. Maksudnya, orang yang ikut
dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada rasa takut
ataupun was-was dalam menjalani kehidupan, karena ada pihak yang
memberikan jaminan atau pertanggungan.
Mengenai
definisi asuransi secara baku dapat dilacak dari peraturan (perundang-undangan)
dan beberapa buku yang berkaitan dengan asuransi. Muhammad Muslehuddin dalam
bukunya Insurance and Islamic Law mengadopsi pengertian asuransi
dari Encyclopaedia Britanica sebagai suatu persediaan yang disiapkan oleh
sekelompok orang, yang dapat tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang
tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang
di antara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh
kelompok.
Lebih
jauh Muslehuddin menjelaskan pengertian asuransi dalam sudut pandang yang
berbeda, serta mengalami kesimpangsiuran. Ada yang mendefinisikan asuransi
sebagai perangkat untuk menghadapi kerugian dan ada yang mengatakannya sebagai
persiapan menghadapi risiko. Dilihat dari signifikansi kerugian, Adam Smith
berpendapat bahwa asuransi dengan menyebarkan beban kerugian kepada orang
banyak, membuat kerugian menjadi ringan dan mudah bagi seluruh masyarakat.
Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang
dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik),
dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung,
dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena
suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”
Asuransi
menurut UU RI No. 2 th. 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang dimaksud dengan
asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari
suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan
pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI, yang lebih dikenal dengan ta’min,
takaful, atau tadhamun adalah usaha saling melindungi dan
tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah .
Dari
definisi asuransi syariah di atas jelas bahwa pertama, asuransi syariah
berbeda dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syariah setiap peserta
sejak awal bermaksud saling menolong dan melindungi satu dengan yang lain
dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut tabarru’.
Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko (transfer ofrisk)
dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian
risiko (sharing of risk) di mana para peserta saling menanggung. Kedua,
akad yang digunakan dalam asuransi syariah harus selaras dengan hukum Islam
(syari’ah), artinya akad yang dilakukan harus terhindar dari riba, gharar
(ketidak jelasan dana), dan maisir (gambling), di samping itu investasi
dana harus pada obyek yang halal-thoyibah.
Akad
pada operasional asuransi syariah dapat didasarkan pada akad tabarru’,
yaitu akad yang didasarkan atas pemberian dan pertolongan dari satu pihak
kepada pihak yang lain.9 Akad tabarru’ merupakan bagian dari tabaddul
haq (pemindahan hak). Walaupun pada dasarnya akad tabarru’ hanya
searah dan tidak disertai dengan imbalan, tetapi ada kesamaan prinsip dasar di
dalamnya, yaitu adanya nilai pemberian yang didasarkan atas prinsip
tolong-menolong dengan melibatkan perusahaan asuransi sebagai lembaga
pengelolah dana.
Dengan
akad tabarru’ berarti peserta asuransi telah melakukan persetujuan dan
perjanjian dengan perusahaan asuransi (sebagai lembaga pengelolah) untuk
menyerahkan pembayaran sejumlah dana (premi) ke perusahaan agar dikelolah dan
dimanfaatkan untuk membantu peserta lain yang kebetulan mengalami kerugian.
Akad tabarru’ ini mempunyai tujuan utama yaitu terwujudnya kondisi
saling tolong menolong antara peserta asuransi untuk saling menanggung (takaful)
bersama. Zarqa tidak menyebutkan akad takaful dalam mengilustrasikan
kondisi semacam ini, tetapi dengan memakai istilah akad tabarru’.10 Sebagai
implikasinya, adalah peniadaan prinsip pertukaran (tabaddul) yang layak
terjadi pada akad al-ba’i (jual-beli). Akad tabadduly adalah akad
yang selama ini dipakai oleh perusahaan asuransi konvensional, yaitu
memposisikan nasabah asuransi sebagai pembeli polis yang dikeluarkan oleh
perusahaan asuransi, sedang pihak perusahaan adalah penjual polis yang harus
dibayar melalui pembayaran premi. Akibat dari akad ini (tabaduly) adalah
keharusan pemindahan hak.
Akad
lain yang dapat diterapkan dalam bisnis asuransi adalah akad mudharabah,
yaitu satu bentuk akad yang didasarkan pada prinsip profit and loss
sharing (berbagi atas untung dan rugi), di mana dana yang terkumpul dalam
total rekening tabungan (saving) dapat di-investasi-kan oleh perusahaan
asuransi yang risiko investasi ditanggung bersama antara perusahaan dan
nasabah.
Secara
ringkas, dapatlah dikatakan bahwa dalam praktek asuransi paling tidak ada dua
akad yang membentuknya, yaitu; akad tabarru’ dan akad mudharabah. Akad
tabarru’ terkumpul dalam rekening dana sosial yang tujuan utamanya
digunakan untuk saling menanggung (takaful) peserta asuransi yang
mengalami musibah kerugian. Sedang akad mudharabah terwujud tetkala dana
yang terkumpul dalam perusahaan asuransi itu diinvestasikan dalam wujud usaha
yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan (profit). Karena landasan
dasar yang awal dari akad mudharabah ini adalah prinsip profit and
loss sharing, maka jika dalam investasinya mendapat keuntungan, maka
keuntungan tersebut dibagi bersama sesuai dengan porsi (nisbah) yang
disepakati. Sebaliknya jika dalam investasinya mengalami kerugian (loss atau
negative return) maka kerugian tersebut juga dipikul bersama antara
peserta asuransi dan perusahaan.
d)
Reksadana
syariah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat
pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek (saham,
obligasi, valuta asing, atau deposito) oleh Manajer Investasi yang pengelolaan
dan kebijakan investasinya mengacu pada syariat Islam.
Manajer
Investasi, dengan aqad Wakala, akan menjadi wakil dari
Investor untuk
kepentingan dan atas nama Investor. Sedangkan Reksa Dana
Syariah akan
bertindak dalam aqad Mudharabah sebagai Mudharib yang
mengelola
dana/harta milik bersama dari para Pemilik Harta. Sebagai bukti
penyertaan
Pemilik Dana akan mendapat Unit Penyertaan dari Reksa Dana
Syariah. Tetapi
Reksa Dana Syariah sebenarnya tidak bertindak sebagai
Mudharib murni
karena Reksa Dana Syariah akan menempatkan kembali dana ke dalam kegiatan
Emiten melalui pembelian Efek Syariah. Dalam hal ini Reksa Dana Syariah
berperan sebagai Shahibul Mal dan Emiten berperan sebagai Mudharib. Oleh karena
itu hubungan ini disebut sebagai ikatan Mudharaba Bertingkat. Dalam kedua
situasi tersebut Manajer Investasi akan memberikan jasa secara langsung atau
tidak langsung kepada Investor yang ingin melakukan investasi mengikuti prinsip
Syariah. Manajer Investasi juga harus mampu melakukan kegiatan pengelolan yang
sesuai dengan Syariah. Sehingga diperlukan adanya panduan mengenai norma-norma
yang harus dipenuhi oleh Manajer Investasi agar investasi dan hasilnya tidak
melanggar ketentuan Syariah, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan gharar
dan maysir. Produk reksadana meliputi danareksa syariah yang bertujuan untuk memperoleh
pertumbuhan investasi melalui investasi saham secara syariah Islam dan
danareksa syariah berimbang yang bertujuan untuk memperoleh hasil investasi
yang berkelanjutan dengan tingkat diversifikasi yang tinggi secara syariah
Islam.
e)
Obligasi
syariah merupakan suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang
mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah
berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat
jatuh tempo. Tentang obligasi syariah diatur dalam bab XXIV pasal 604 sampai
dengan 607 KHES. Di samping itu ada pula obligasi syariah mudharabah yang
diatur dalam bab XXI pasal 574 sampai dengan 579 KHES.
Sumber hukum
obligasi syariah dapat ditilik dalam Firman Allah Swt., dalam QS al-Maidah [5]:
1
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya:
Hai orang yang
beriman! Penuhilah aqad-aqad itu (QS al-Maidah [5]: 1)
QS al-Israa
[17]: 34
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ
إِنَّ الْعَهْدَ آَانَ مَسْؤُولاً
… dan penuhilah
janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS.
Al-Israa [17]: 34).
QS al-Baqarah
[2]: 275
} الَّذِينَ يَأْآُلوُنَ
الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ آَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَ
لَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّا رِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan
seperti berdirinya orangyang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Rabbnya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-
Baqarah [2]:
275).
f)
Dana
pensiun syariah Sunduq mu’asyat taqa’udi atau dana pensiun syariah adalah badan
usaha yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pension berdasar
prinsip syariah (pasal 20 angka 39 KHES). Hal ini diatur dalam bab XXIX Pasal
626 sampai dengan 673 KHES.
Nama : Tanti Tri
Setianingsih
NPM : 27211023
Kelas : 2EB09