KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA:
TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI
DAN KEMISKINAN PROVINSI
Oleh :
Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat
JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 :
43 – 69
V. PROBABILITAS
KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN: STUDI KASUS TAHUN 2009
Gambaran tingkat anggota koperasi setiap provinsi
(TAKP) dan tingkat kemiskinan provinsi pada tahun 2009 tertera pada Gambar 3.
Tingkat anggota koperasi provinsi (TAKP) adalah rasio jumlah anggota koperasi
dengan jumlah penduduk. Semakin tinggi TAKP semakin baik, sebaliknya. Semakin rendah
TAPK semakin baik, dan sebaliknya. Provinsi yang TAKP-nya tinggi semestinya
akan menunjukkan tingkat kemiskinan provinsi yang rendah pula. Sedangkan
provinsi yang TAPK-nya rendah akan menghasilkan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Terlihat pada Gambar 4, TAKP rata-rata Indonesia adalah 0.1145 atau jumlah
anggota koperasi adalah 11.45% dari jumlah penduduk provinsi. Provinsi yang
performa keanggotaan koperasinya baik, dengan TAKP di atas rata-rata, adalah
sebanyak 12 provinsi. Secara berurutan dari
tertinggi Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Sumatera
Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan,
Gorontalo, dan Sumatera Barat karena TAKP-nya di atas rata-rata nasional,
sebesar 0.1145. Selebihnya, propinsi di bawah nilai rata-rata, atau cenderung
rendah. Kalau tertinggi adalah Kalimantan Timur dan terrendah adalah Papua.
Ternyata juga, beberapa provinsi di P. Jawa kalah posisi dengan provinsi di
luar P. Jawa. Padahal aksesibilitas P. Jawa jauh lebih baik daripada luar Jawa.
Dari TAPK tersebut, provinsi-provinsi Kalimantan
Timur, Bali, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sumatera Barat
adalah daerah yang semestinya tingkat kemiskinannya rendah. Sedangkan propinsi
lainnya dengan TAKP yang rendah akan menghasilkan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Yang menarik dari Grafik 2 a dalah posisi bebera pa provinsi di Pulau Jawa
seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dimana performa TAKPnya yang
rendah. Sementara Jawa Timur, meskipun TAKP-nya tinggi, masih di bawah beberapa
provinsi di luar P. Jawa. Propinsi-propinsi tersebut selama ini dinyatakan sebagai
propinsi yang termaju koperasinya akibat dukungan infrastruktur dan akses yang
jauh lebih baik daripada propinsi di luar P. Jawa. Faktanya, dengan jumlah
anggota koperasi yang terbanyak belum sepenuhnya menunjukkan perfoma
kependudukannya. Hanya sebagian kecil saja dari jumlah penduduk yang banyak di
propinsi tersebut yang menjadi anggota koperasi. Dari sisi
pembinaan, pemerintah (daerah) tersebut belum mampu memobilisasi penduduk menjadi anggota koperasi. Mobilisasi
penduduk menjadi anggota adalah
sangat perlu mengingat status koperasi sebagaimana UU 25/1992 adalah badan usaha yang merupakan kumpulan orang,
bukan saham. Ini yang
membedakannya dengan badan hukum perseroan terbatas (PT). Artinya, semakin banyak anggota semakin baik performa
koperasi.
Tingkat
kemiskinan propinsi (TKP), sebagai ukuran kemiskinan daerah, adalah rasio
jumlah orang miskin dan jumlah penduduk provinsi. Bagaimanakah dengan tingkat
kemiskinan yang terjadi di setiap provinsi? Grafik 3 men unjukkan tingkat kemi
skinan di tia p provinsi ter sebut. Rata-rata TKP adalah 0.1419 atau jumlah
orang miskin secara nasional adalah 14.19% dari jumlah penduduk pada tahun
2009. Bila TKP di bawah 0.1419 maka performa provinsi tersebut baik.
Sebaliknya, bila TKP tinggi maka performa propinsi buruk. Sebagian besar
provinsi performanya adalah baik ditinjau dari TKP, yakni sebanyak 18 provinsi.
Secara berurutan yang terbaik adalah DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Banten, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau,
Jambi, Sumatera Barat, Maluku Utara, Riau, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat,
Sumatera Utara, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat karena di
bawah nilai rata-rata TPK sebesar 0.1419. DKI Jakarta misalnya, TKP-nya sebesar
0.0337 atau jumlah orang miskin di DKI Jakarata hanya 3.37% dari jumlah
penduduk. Selebihnya, sebanyak 15 provinsi menunjukkan posisi tidak baik.
Umumnya, provinsi di Indonesia bagian Timur adalah daerah yang tingkat
kemiskinannya sangat tinggi. Misalnya, TKP Papua Barat sebesar 0.3375 atau
sebanyak 33.75% penduduk Papua Barat adalah miskin.
Beberapa
provinsi di P. Jawa juga kalah posisi dengan provinsi luar P. Jawa. Jawa Timur,
DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah, TKP-nya masingmasing 0.1607, 0.1697, dan
0.1768. Posisi provinsi ini di bawah Sumatera Selatan. Penduduk miskin di
daerah tersebut masih sangat banyak. Khusus Jawa Timur, fenomena menarik untuk
ditelaah lebih lanjut. Mengapa tingkat kemiskinan masih tinggi? Padahal Jawa
Timur selalu dianggap sebagai daerah yang sangat maju dan acuan bagi daerah
lainnya. Fakta ini sebenarnya menunjukkan rendahnya kapasitas Jawa Timur dalam
pembangunan daerah. Fenomena ini sejalan dengan performa propinsi tersebut
dalam hal menarik investasi dimana RIPI (Regional Investment Performance
Index) Jawa timur dalam menarik investasi nasional dan asing adalah rendah
(Situmorang 2009a dan 2009b). Artinya, ukuran ekonomi Jawa Timur yang besar
tidak serta merta memiliki performa baik dalam menanggulangi kemiskinan dan
atau menarik investasi di daerah tersebut.
Posisi
berdasarkan TAKP dan TKP tersebut dan penggunaan metode statistika estimasi
interval dengan menggunakan margin of error, pada koefisien ke percayaan
(coefficient of interval confidence) sebesar 95% yang ter lihat pada
Lampiran Tabel 2, TAKP dan TKP dapat diklasifikasikan dalam tiga kategorial,
yakni rendah (R) dengan TAKP < 0.11 dan TKP < 0.13, kategori sedang (S)
dengan TAKP antara 0.11-0.13 dan TKP 0.13 – 0.17, dan kategori tinggi (T)
dengan TAKP>0.13 dan TKP>0.17. Metode pengklasifikasian ter sebut dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan tingkat ke percayaan 95% ata u ke
salahan sebesar 5%. Ha sil k lasifikasi dan distribusi propinsi dapat
menunjukkan relasi keanggotaan koperasi dan kemiskinan setiap provinsi, dan
selanjutnya menunjukkan keterkaitan antar random variable tersebut
Tabel
5.
Matriks
Distribusi Propinsi Berdasarkan TAKP dan TKP
Ket: Distribusi dengan rata-rata 11.45%, margin of error 13.74%, dan
α = 5% untuk TAKP dan rata-rata 14.19%, margin of error 17.67%, dan α =
5% untuk TKP
Pada Tabel 5 terlihat distribusi provinsi berdasarkan
kedua variabelacak tersebut yang tingkat
keragamannya tinggi. Sebagian besar provinsi pada tahun 2009 masuk kategori
rendah berdasarkan TAKP dan TKP. Beberapa provinsi di P. Jawa masuk dalam
kategori rendah, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dilihat dari TAKP.
Beberapa provinsi di P. Jawa, seperti DIYogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah
masuk kategori sedang dan tinggi dalam hal kemiskinan. Masuknya beberapa
provinsi di P. Jawa pada kategorial kurang baik menjadi fenomena tersendiri
mengingat aksesibilitas P. Jawa jauh lebih baik daripada luar P. Jawa. Jawa
Tengah dan NTB masuk dalam kategori yang sama dari sisi kemiskinan, tingkat
kemiskinannya tinggi. Posisi yang terbaik dengan TAKP tinggi dan TKP rendah
hanya lima provinsi, yakni Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, dan Sulawesi Utara. Posisi ini sebenarnya menjadi harapan dengan upaya
penanggulangan kemiskinan dengan kehadiran koperasi sebagai lembaga perjuangan
rakyat mengatasi kemiskinan.
Dari distribusi provinsi berdasarkan kategorial TAKP
dan TKP pada Tabel 5, maka distribusi jumlah provinsi dapat ditampilkan pada
Tabel 6. Sebanyak 19 provinsi masuk kategori rendah (R) dan hanya sebanyak 9
provinsi masuk kategori tinggi (T) menurut TAKP. Sisanya, sebanyak 5 provinsi masuk
dalam kategori sedang (S). Sementara itu, berdasarkan TKP, terdapat sebanyak 16
provinsi masuk kategori rendah (R) tingkat kemiskinannya dan sebanyak 12
provinsi masuk kategori tinggi (T). Sisanya, sebanyak 5 provinsi masuk kategori
sedang (S). Distribusi jumlah propinsi dengan TAKP renda dan TKP rendah adalah
yang terbanyak, sebesar 9 provinsi, menyusul TAKP rendah dan TKP tinggi
sebanyak 8 provinsi. Sedangkan TAKP tinggi dan TKP rendah hanya sebanyak 5
provinsi. Distribusi ini telah menggambarkan relasi yang kurang sejalan dengan
harapan dimana yang semestinya adalah frekuensi terbanyak adalah ketika TAKP
tinggi dan TKP rendah. Kemudian dari Tabel 5, dapat dihitung joint
probability dan marginal probability antara tingkat anggota koperasi
dan tingkat kemiskinan.
Tabel 6.
Matriks Distribusi Jumlah Propinsi Berdasarkan TAKP
dan TKP, Tahun 2009
Pada Tabel 7 terlihat joint probability yang
merupakan interaksi antar kejadian, ditunjukkan oleh angka pada baris dan kolom
sebagai interaksi TAKP dan TKP. Misalnya, angka 0.2727, 0.0606, dan seterusnya
sampai angka terakhir yang juga 0.0606 adalah joint probability antara
TAKP dan TKP. Angka 0.2727 adalah joint probability antara kategori TAKP rendah
dengan kategori TKP rendah, dan seterusnya. Jadi, interaksi TAKP yang rendah
dengan TKP yang rendah sebesar 27.27%, TAKP rendah dengan TKP sedang sebesar
6.06%, dan TAKP rendah dengan TKP tinggi sebesar 24.24%. Joint probability tertinggi
adalah antara TAKP rendah dan TKP rendah, sebesar 27.27%, dan yang terendah
adalah TAKP sedang dan TKP sedang sebesar 3.03%.
Sedangkan marginal probability adalah
probabilitas sisa yang ditunjukkan oleh baris dan kolom total. Angka pada kolom
Total sebesar 0.5758, 0.1515, dan 0.2727 adalah marginal probability yang
merupakan probabiltas kejadian di luar interkasi antar kejadian yang tampak
dari kategori TAKP yang rendah sebesar 57.58%, sedang sebesar 15.15%, dan
tinggi sebesar 27.27%. Sedangkan angka pada baris Total sebesar 0.4848, 0.1515,
dan 0.3636 adalah marginal probability dari kategori TKP yang rendah
sebesar 48.48%, sedang sebesar 15.15%, dan tinggi sebesar 36.36%. Marginal
probability tertinggi adalah pada kejadian TAKP rendah, sebesar 0.5758.
Artinya, kemungkinan menemukan propinsi dengan tingkat anggota yang rendah
adalah sebesar 57.58%. Marginal probability terendah pada kejadian TAKP
adalah pada kategori sedang, sebesar 0.1515. Artinya, kemungkinan ditemukan propinsi
yang TAKP-nya sedang adalah sebesar 15.15%. Marginal probability TKP tertinggi
adalah pada kategori rendah, yakni 0.4848. Artinya, kemungkinan ditemukan
provinsi yang TKP rendah adalah sebesar 48.48%, dan terendah adalah kategori
sedang, sebesar 0.1515 dimana kemungkinan ditemukan provinsi dengan kategori
tingkat kemiskinan sedang adalah sebesar 15.15%.
Tabel 7.
Joint dan Marginal
Probability Tingkat Anggota Koperasi Propinsi
dan Tingkat Kemiskinan Propinsi, 2009
Pengoperasian probabilitas untuk mengatahui seberapa
jauh peluang koperasi mendukung penanggulangan kemiskinan lebih jelas terlihat
dengan metode tree analysis (Analisis Pohon). Gambar 3 menampilkan
analisis pohon tersebut dimana dua langkah (step) yang terbangun untuk
mengetahui relasi koperasi dan penanggulangan kemiskinan. Step-1 menunjukkan
probabilitas kejadian TAKP sebagaimana Tabel 6, yakni kategori rendah 0.5758,
sedang 0.1515, dan tinggi 0.2727. Pada step-2, probabilitas kejadian TKP, yakni
kategorial rendah, sedang, dan tinggi terkait dengan kategori rendah TAKP (conditional
probabaility TKP atas TAKP) adalah masing-masing 0.4737, 0.1053, dan
0.4211. Dengan kata lain, probabilitas kategori rendah, sedang, dan tinggi pada
step-2 yang terkait dengan kejadian atau kategori rendah pada step-1 adalah
masing-masing sebesar 47.37%, 10.53%, dan 42.11%7.
Probabilitas pada step-2 untuk kategori rendah,
sedang, dan tinggi yang terkait pada kondisi kategori sedang pada step-1
masing-masing adalah sebesar 0.4000, 0.2000, dan 0.4000. Artinya probabilitas
step-2 tersebut masingmasing 40%, 20%, dan 40%. Sedangkan untuk probabilitas
rendah, sedang, dan tinggi pada step-2 yang terkait pada kondisi kategori
tinggi pada step-1 adalah masing-masing 55.56%, 22.22%, dan 22.22%. Hasil atau
outcome dari step-1 dan step-2 terlihat ketika propinsi dengan tingkat anggota
koperasi yang tinggi terkait dengan tingkat kemiskinan yang rendah hanya muncul
satu hasil yang disimbolkan dengan TR adalah probabilitas sebesar 0.1515.
Artinya, peluang provinsi dengan tingginya anggota koperasi dan juga tingkat
kemiskinan rendah hanya sebesar 15.15%. Dari 33 provinsi di Indonesia, maka
hanya sebanyak 5 provinsi kemungkinannya pada posisi yang baik dimana koperasi mendukung
pengurangan jumlah orang miskin. Bila digabungkan dengan kategori tinggi pada
step-1 dan kategori sedang pada step-2 dengan simbol TS maka probabilitasnya
menjadi 21.21%. Artinya, dari 33 provinsi yang ada hanya sebanyak 7 provinsi
kemungkinannya menunjukkan performa yang baik dalam penanggulangan kemiskinan
dengan hadirnya koperasi di provinsi itu. Sisanya, adalah tidak baik. Anehnya,
manakala tingkat anggota koperasi rendah dan tingkat kemiskinan rendah dengan
simbol RR, probabilitasnya mencapai 27.27%, jauh lebih tinggi dari TR. Ini
seolah-olah suatu kondisi
paradoksial.
Berdasarkan relasi probabilitas tersebut, performa
pembangunan koperasi terlihat dari 33 provinsi di Indonesia, dengan tingkat
anggota koperasi yang rendah mendorong rendahnya kemiskinan adalah sebanyak 9
provinsi. Bila digabungkan dengan kategori rendah TAKP dan rendah pula TKP maka
probabilitas mencapai 33.33%. Artinya, kemungkinan provinsi yang rendah tingkat
anggota koperasi akan mendukung penanggulangan kemiskinan adalah mencapai 11
provinsi. Dengan mengambil sampel provinsi di P. Jawa dengan enam provinsi,
maka kemungkinan relasi koperasi yang mampu mendukung penanggulangan kemiskinan
adalah sebanyak satu provinsi. Di Pulau Sumatera, misalnya, kemungkinannya
hanya sebanyak dua provinsi dari sepuluh provinsi. Sedangkan di bagian Timur,
juga hanya sebanyak dua provinsi dari 12 provinsi. Fakta ini sejalan dengan
pendapat beberapa penggiat perkoperasian dalam mengamati perkembangan koperasi
di era reformasi. Dalam realitas global, menurut Rahardjo (2010), dari 300
koperasi terbesar di dunia versi ICA8, tidak termasuk koperasi Indonesia.
Bahkan, koperasi besar tersebut terdapat di negara-negara kapitalis-liberal
yang tidak memiliki UU perkoperasian dan kementerian yang membidangi koperasi.
Sementara itu, koperasi jarang bergerak di sektor produksi, pengolahan,
pemasaran, dan distribusi (Sularso, 2010).
Dari hasil analisis di atas dapat dinyatakan bahwa
dukungan koperasi atas penanggulangan kemiskinan masih rendah. Padahal target
grup pembangunan KUKM adalah kelompok usaha skala mikro yang dianggap sebagai
kelompok usaha yang sangat tertinggal di antara kelompok usaha. Mereka pada umumnya adalah anggota koperasi dimana
seluruh upaya pemerintah, khususnya bantuan pembiayaan dilakukan melalui
koperasi. Upaya pemerintah yang meluncurkan berbagai program penanggulangan
kemiskinan memang perlu tapi tidak cukup menjadikan koperasi sebagai instrumen
penanggulangan kemiskinan. Partisipasi lembaga lain, khususnya Dewan Koperasi
yang terbentuk berdasarkan amanah UU perkoperasian, sangat dibutuhkan sebagai mitra
pemerintah. Selama ini, peran Dewan Koperasi tidak terlalu mendukung keberadaan
koperasi karena Dewan Koperasi belum berperan sebagai wadah menampung aspirasi
gerakan koperasi. Menurut Situmorang (2009), Dewan Koperasi Indonesia menjadi
semacam koperasi juga yang menyelenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan
usaha sebagaimana layaknya koperasi. Fungsi pengawasan atas implementasi
prinsip koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lainnya yang mestinya
menjadi kewenangan Dewan Koperasi, tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu,
Dewan Koperasi harus mampu melakukan transformasi struktural perkoperasian
menuju lembaga yang tangguh.
Relasi yang rendah tersebut juga didukung oleh
keberadaan koperasi yang ambivalen. Pada satu sisi koperasi dinyatakan sebagai
lembaga meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semestinya menjadi wilayah
pemerintahan. Pada sisi lain koperasi dinyatakan badan usaha yang berwatak
sosial. Sebagai badan usaha yang berbadan hukum, koperasi adalah sebagai
perusahaan sebagaimana layaknya dunia usaha, seperti perseroan terbatas. Ketika
koperasi sebagai lembaga mengatasi kemiskinan maka koperasi selayaknya adalah
instrumen pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Keberadaan koperasi
merupakan rekayasa pemerintah dengan melibatkan masyarakat miskin, mengingat
rakyat miskin sangat tidak mungkin mampu mengorganisasikan diri sendiri dalam
organisasi formal. Manakala koperasi sebagai badan hukum maka keberadaaannya
murni atas pembentukan anggota yang mempunyai kepentingan yang sama untuk
mencapai tujuan bisnis. Koperasi seperti ini lepas dari persoalan kemiskinan
karena anggotanya pasti adalah kelompok masyarakat bukan miskin.
Nama : Tanti Tri Setianingsih
NPM : 27211023
Kelas : 2EB09